Kajian Teoritis Proses dan Bukti Islamisasi di Nusantara
Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Penyebaran Islam di Indonesia tentu saja menjadi hal yang cukup krusial dalam sejarah Indonesia untuk digali dan dikaji lebih lanjut. Namun, informasi mengenai masuk dan pengaruhnya Islam di Nusantara belum mencapai simpulan yang akurat karena data dan sumber islamisasi sangat langka dan sulit ditemukan. Meskipun demikian, beberapa ahli telah melakukan pengkajian lebih lanjut mengenai proses masuknya Islam di Nusantara.
1)
Teori
Penyebaran dan Islamisasi di Nusantara
Kegiatan
Islamisasi di Nusantara tidak lepas dari berbagai teori yang diperdebatkan
karena teori-teori tersebut hanya menekankan aspek-aspek khusus, sehingga
cenderung mengabaikan aspek-aspek lain yang membuat teori gagal menjelaskan
kedatangan Islam di Nusantara secara akurat di samping data-data yang sulit
didapat. Terdapat beberapa teori utama mengenai penyebaran dan Islamisasi di
Nusantara. Pertama, teori India berpendapat bahwa penyebaran Islam di
Nusantara berasal dari Anak Benua India, India Selatan melalui perdagangan,
Gujarat, Coromandel, dan Malabar India. Kedua, Islam disebarkan langsung
oleh pedagang Arab yang mendominasi perdagangan di Barat-Timur pada abad ke-7
dan ke-8 M.[1]
Ketiga, teori Persia yang meyatakan Islam di Nusantara berasal dari
Persia diasarkan pada persamaan unsur budaya Persia, yaitu Shiah. Keempat,
teori Cina menyatakan bahwa Islam dibawa dari Cina karena banyak ditemukannya
kebudayaan yang sama antara Cina dengan Nusantara. Kelima, teori akomodasi
menyatakan tahap permulaan Islam di Nusantara terjadi pada abad ke-7M,
sedangkan abad ke-13 merupakan proses penyebaran dan terbentuknya masyarakat
Islam di Nusantara yang dibawa oleh orang-orang Muslim dari Persia, Arab, dan India
(Bengal dan Gujarat). Kelima teori tersebut tentu saja dijabarkan dengan
beberapa bukti, bahkan bukti fisik untuk memperkuat validasi, tetapi bukti
tersebut tidak dapat mengkrucutkan Islam hanya pada satu atau dua teori saja.
Misalnya pada teori Gujarat India di mana ditemukan makam nisan Maulana Malik
Ibrahim di Gresik serupa dengan batu nisan di Cambay, Gujarat. Temuan tersebut
disangkal oleh Fatimi yang mengaitkan batu nisan Malik al-Shahih berbeda dengan
batu nisan yang ditemukan di Gujarat, tetapi serupa dengan batu nisan yang ada
di Bengal. Teori Fatini pun mendapat kritik karena di Nusantara menganut
Syafi’i, sedangkan di Bengal adalah mahsab Hambali. Namun, penjelasan mengenai
teori Islamisasi di Nusantara secara umum dilakukan oleh para pedagang dilihat
dari persamaan Islamisasi dan Hinduisasi. Meskipun demikian, teori tersebut
tetap mendapat sangkalan oleh A.H John yang menyatakan bahwa Islam tidak bisa
dibawa oleh para pedagang yang pada umumnya menganggap barang dagangan sebagai bearer
(pembawa) agama.[2]
Sejak
awal adanya zaman Islam, agama tersebut sudah hidup di Asia Tenggara dibawa
oleh utusan Muslim dari Arab yang datang ke Cina dan mengadakan kontak-kontak
Islamiah antara Cina dengan kehidupan Islam melalui perdagangan di jalur laut
perairan Indonesia. Meskipun belum ada bukti yang menunjukan berdirinya
negara-negara lokal yang bercorak Islam atau perpindahan agama penduduk lokal
ke Islam dengan pesat, tetapi kerajaan seperti Sriwijaya yang bercorak Budha
telah mengirim utusan yang bernama Arab ke Cina. Selain teori di atas, terdapat
beberapa proses masuknya Islam ke Nusantara:
a)
Pribumi
mengetahui dan menjalin hubungan dengan agama Islam, kemudian menganut agama
tersebut.[3]
b)
Bangsa
Asing yang lebih dulu memeluk Islam, seperti bangsa Arab, Cina, dan India berbaur
dengan pribumi, melokal, bahkan kawin dengan penduduk Indonesia, bahkan para
pendakwah ada yang mengislamkan penguasa asli dan menikah dengan putri-putri
kerajaan di mana keturunan hasil pernikahan akan menjadi sultan.
Berdasarkan
banyaknya teori dan spekulasi yang ada, mengenai Islamisasi di Nusantara akan
kembali pada sumber-sumber sejarah primer (misal jurnal, dokumen sejarah, dll)
yang dibicarakam ke legenda-legenda Indonesia yang mencatat bagaimana penduduk
Indonesia menceritakan kisah pengislaman mereka. Selain itu, dalam mengkaji
teori Islamisasi di Nusantara, kita harus melihat laporan dari penduduk lokal
secara tradisi lisan, mapun rekaman tertulis karena tradisi-tradisi asli tentu
telah merekam sejarah masa lampau dan masih berkaitan dengan unsur kebudayaan
di masa lampau tersebut. Legenda-legenda di Indonesia berupa dongeng memang
bukanlah catatan sejarah yang validasinya akurat, tetapi di dalam dongeng
tersebut terdapat refleksi yang dapat mengungkap sejarah masa lalu, misalnya
saja pada Hikayat Raja-Raja Pasai dan Hikayat Merong Mahawangsa yang
merupakan ceita rakyat, tetapi membahas mengenai Islamisasi di Nusantara.
Historigrafik tersebut memuat empat tema pokok menurut Azra[4],
yaitu Islam dibawa langsung dari Arab, Islam disebarkan oleh penyair dan guru
professional dalam hal ini memang bertujuan untuk menyebarkan Islam, penguasa-penguasa
menjadi sosok yang pertama kali masuk Islam, dan abad ke-12 dan ke-13 guru atau
penyair professional datang ke Nusantara.
Selain
itu, terdapat polarisasi penyebaran Islam di Nusantara yang dianggap cukup
pesat, pertama adalah perdagangan. Perdagangan dilakukan oleh
orang-orang Arab, Persia, dan India yang diperkirakan terjadi pada abad ke-7M.
Di dalam Islam, perdagangan merupakan pekerjaan yang dirahmati oleh Tuhan di
samping itu, umat Muslim memiliki andil untuk menyamaikan ajaran Islam. Kedua,
para pedagang mulai menetap di Nusantara dan menikah dengan penduduk lokal yang
kemudian mengislamkan mereka. Ketiga, para tokoh Islam, seperti kyai,
ulama, dan guru menyebarkan agama dan kebudayaan Islam melalui pendidikan
pondok pesantren. Keempat, di Indonesia sendiri, tasawuf yang paling
berpengaruh adalah mahzab Syafi’i. Tasawuf ini merupakan bentuk pengajaran yang
mudah karena disesuaikan dengan pola pikir masyarakat Nusantara. Kelima,
raja sebagai sosok yang dipertuan memiliki peran penting dalam menyebarkan
Islam karena setiap perbuatan raja akan diikuti oleh rakyatnya, misal raja yang
memeluk Islam akan dicontoh oleh rakyat. Keenam, Islam dapat masuk ke
Nusantara karena akulturasi Islam pada kebudayaan di Nusantara yang memegang
teguh seni dan budaya.
2)
Bukti
Islamisasi di Nusantara
Bukti-bukti Islamisasi di Nusantara tidak kalah
beragam dari teori proses masuknya Islam, tetapi bukti tersebut agaknya masih
belum dapat memberikan kebenaran karena beberapa bukti yang ada masih disangkal
oleh bukti lain. Beberapa bukti penyebaran Islam di Nusantara berasal dari
prasasti-rasasti Islam dan catatan para musafir, seperti pertama, ditemukan
nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al-Basir di pemakaman Lamreh dengan batu
nisan tahun 608H/1211M. Kedua, makam Sultan Malik as-Salih, penguasa
pertama Samudra yang beragama Islam bertarikh 696H/1297M. Ketiga, tahun
1345, musafir dari Maroko, Ibn Battuta dalam perjalanannya melawati Samudra
mengetahi bahwa penguasa di sana merupakan pengikut mazhab-fikih Syafi’i. Keempat,
akhir abad ke-XIV, di Minye Tujoh, Sumatera Utara ditemukan dua batu nisan
bernuansa Islam yang sama, tetapi memiliki dua bahasa, yaitu bahasa Arab dan
bahasa Melayu Kuno yang berhurufkan Sumatera Kuno. Batu nisan tersbeut
disinyalir merujuk kepada putri Almarhum Sultan Malik as-Zahir. Selain itu,
diabad yang sama, terdapat bukti penyebaran Islam di Brunai, Trengganu yang
berbahasa Arab dan pemujian kepada Sultan (Arab) dan Maharaja (Sansekerta) yang
telah wafat. Kemudian, terdapat batu Trengganu yang merupakan lambang dari
masuknya hukum Islam suatu daerah Islam baru karena dibuktikan dengan tidak ada
penyebutan kata “Allah” melainkan “Dewata Mulia Raya.” Kelima, ditemukan
makam-makam bertarikh tahun Saka India dan angka Jawa Kuno di Triwulan dan
Tralaya, Jawa Timur, sehingga dipastikan makam tersebut milik orang Muslim
Jawa. Keenam, di Tralaya, batu yang bertarikh S 1298 s.d S 1533
(1376-1611M) memuat ungkapan saleh dan kutipan dari Al-Qur’an. Batu-batu
tersebut diperkirakan milik kuburan bangsawan Jawa , khususnya Majapahit an
merupakan bukti pertama orang-orang Jawa yang beragam Islam. Ketujuh, terdapat
beberapa sumber mengenai bukti Islamisasi di Nusantara, seperti berita Cina
Zman Tang, Berita Tome Pitrs, dan Berita dari Ibnu Batuttah.[5] Segelintir
bukti-bukti tersebut memang masih belum diketahui keakuratan dalam menjawab
pertanyaan bukti Islamisasi di Nusantara yang paling tepat. Namun, melalui
bukti-bukti di atas, dapat ditarik simpulan, bahwa keberadaan Islam di
Nusantara memang sudah ada sejak zaman dahulu dan pernah mengalami eksistensi
pada masa kerajaan Islam di Indonesia.
Berdasarkan kajian di atas, teori-teori Islamisasi di
Nusantara memang memiliki bukti, tetapi bukti yang ada tidaklah cukup
memvalidasikan siapa, kapan, dan di mana Islam untuk pertama kalinya masuk ke
Nusantara. Namun, pada dasarnya teori-teori dan bukti-bukti yang ada merupakan
suatu hal yang saling melengkapi dan dapat digunakan sebagai petunjuk
penyebaran Islam di Nusantara. Secara umu, teori-teori Islamisasi ada lima,
yaitu teori India, teori Arab, teori Persia, teori Cina, dan teori akomodasi. Selain itu, polarisasi Islam di Nusantara pun berjalan
dengan damai, tanpa peperangan, seperti dilakukan dengan perdagangan,
perkawinan, pendidikan, tasawuf, politik, dan seni budaya. Hal tersebut yang
menjadikan Islam diterima dengan pesat di Nusantara dan mampu menjadi agama
mayoritas.
[1] Amin, Faizal.
(2018). Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara Telaah Teoritik
tentang Proses Islamisasi Nusantara. Jurnal Studi Keislaman, 18 (2), 83.
http://dx.doi.org/10.24042/ajsk.vl8i2.3069.
[2] Cesar Adib Majul, “Theories on the Introduction and Expansion of
Islam..., h. 347.
[3] Ricklefs, M.C.
(2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Ikrar
Mandiriabadi, 27.
[4] Azra, Edisi Perenial Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad VII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, 10-12.
[5] S. Farid
(2013) dalam Baiti, Rosita dan Abdur Razzaq. (2014). Teori dan Proses
Islamisasi di Inodesia. Wardah: XXVII, 142. https://doi.org/10.19109/wardah.v15i2.193.
Komentar
Posting Komentar