Makanan dalam Kelas Identitas Seseorang

Makanan merupakan kebutuhan pokok yang diperlukan oleh tubuh dan dikonsumsi oleh manusia. Makanan menjadi sumber energi bagi tubuh dan tak jarang makanan hanya dijadikan sebagai pemuas rasa pada lidah kita. Namun, makanan yang kita tahu sarat kaitannya dengan urusan perut, sudah sejak lama berperan dalam martabat identitas seseorang atau kelompok. Pada zaman kolonial, orang-orang Belanda membedakan diri mereka sebagai kelas penguasa dengan mengembangkan cara makan yang memanfaatkan tradisi Eropa dan Asia. Mereka, para Belanda menjaga dirinya “tetap Belanda” dengan menghindari makan makanan Indisch, seperti tempe dan nasi kering. Rice had often been considered an inappropriate food for colonists because it was the staple of the Asian masses.[1] Nasi kering kerapkali dimakan oleh rakyat jelata, sehingga bagi penjajah mengkonsumsi nasi kering merupakan hal yang tidak etis dan sama halnya dengan mengkonsumsi makanan yang setara dengan rakyat jelata dan mampu menjatuhkan harkat martabat mereka. Dengan demikian, para penjajah menyajikan cara baru untuk menyantap nasi yang berbeda dengan pribumi, yaitu rijsttafel.

Rijsttafel berasal dari kata rijts yang berarti nasi dan tafel diartikan sebagai meja. Rijsttafel identik dengan kemewahan dan kemahsyuran, cara makan tersebut digembar-gemborkan oleh para kolonial untuk membedakannya dengan makanan pribumi yang biasa memakan nasi dengan sayur. Selain itu, sebagai perwujudan strata tertinggi, para elite Jawa kerapkali menyajikan rijsttafel sebagai bentuk kebiasaan khas Belanda dengan menata makanan pribumi sedemikian rupa untuk mendapatkan sentuhan gaya barat dan tampilan penataan meja kelas tinggi. Makanan menunjukan identitas para penjajah di Hindia Belanda pada saat itu tak luput dari keberadaan orang-orang Belanda atau Eropa dari kalangan jelata. Menurut analisis penulis, rempah-rempah di negeri penjajah merupakan suatu komoditas yang langka, sehingga mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan rempah-rempah, terutama saat Jalur Sutra ditutup dan distribusi rempah-rempah terganggu. Mau tak mau mereka harus mencari jalur lain untuk mendapatkan rempah-rempah. Peminat yang banyak, stok yang langka, waktu tempuh, medan yang curam, armada yang tidak secanggih saat ini membuat harga rempah-rempah di negeri penjajah melambung, bahkan dianggap setara dengan harga emas dan hanya orang-orang dari kelas tertentu yang mampu menghangatkan tubuh mereka dengan rempah-rempah. Rempah-rempah memang bukan suatu makanan, tetapi bahan makanan yang menggunakan rempah-rempah di negeri penjajah tak kalah mahal harganya, sehingga terdapat kasta antara orang terpandang dengan rakyat biasa yang tak mampu mengkonsumsi rempah-rempah. Jika ditinjau pada era saat ini, kita dapat menganalisis, bahwa seseorang dengan kelas tinggi kerapkali menyantap makanan di tempat-tempat berkelas, seperti seorang kehidupan sosial menikmati kopi di Starbucks atau influencer mengunggah foto dissert di resto ternama. Mereka menunjukan kelas sosial dengan makanan. Pemikiran kita akan makanan sebagai identitas seseorang tak melulu tentang kasta. 

Makanan dapat menjadi identitas suatu kelompok. Kelompok tersebut kerapkali membuat hidangan dengan bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitar, menghasilkan cita rasa khas yang membedakan makanan tersebut dengan makanan lain. Dengan demikian, lahirlah makanan khas yang identik dengan kelompok tertentu. Makanan manis seringkali diidentikkan dengan orang Jawa Tengah, misalnya pada sate ayam yang gurih akan tetap dilumuri bumbu kacang yang manis atau makanan pedas yang kaya akan rempah diidentikkan dengan masakan khas Sumatera Barat.

            Dominasi penjajah di Hindia Belanda kala itu sangat mempengaruhi perkembangan makanan, bahkan hingga saat ini. Meskipun, sistem rijsttafel lambat laun mulai ditinggalkan karena dinilai tidak nasionalis dan mengarah pada ketamakan, tetapi perkembangan makanan saat ini tidak dapat lepas dari pengaruh sistem tersebut. Kita sudah tak asing dengan soep (sup), chicken smoor (semur ayam), atau frikadel (perkedel). Makanan-makanan tersebut merupakan perkembangan makanan Belanda yang pernah disajikan dalam rijsttafel, tetapi telah membaur dengan lidah Nusantara dan menjadi makanan yang kerapkali kita santap, bahkan seperti perkedel yang sangat sering kita temui sebagai lauk makan. Tanpa kita sadari, perkembangan makanan asing dari dominasi penjajah di Hindia Belanda dapat dikatakan sebagai hegemonik makanan.

    Hingga saat ini, kekuatan suatu kelompok untuk menanamkan ideologi makanan mereka agaknya masih terasa. Euforia budaya Korea Selatan yang sangat digandrungi di Indonesia, salah satunya K-Food. Ttoekbokii, odeng, jjajangmyoen, kimchi, dan ramyeon tentu saja bukan lah makanan yang terdengar asing di telinga generasi milenial. Konsep hegemoni digambarkan adanya makna dalam budaya manapun yang dapat dikatakan dengan makna-makna yang ‘memerintah’ (governing) atau yang “sedang naik daun” (ascendant)[2]. Lebih pentingnya lagi, gelombang k-food di Indonesia seperti disetujui oleh generasi milenial. Mereka berlomba-lomba menyantap makanan khas Korea Selatan, bahkan kemasan makanan dan tradisi makan, seperti penggunaan sumpit dan alat makan tak luput menjadi budaya asing yang mereka terima, sehingga budaya popular dan naik daun tersebut tak salah jika dikatakan sebagai hegemoni. Suatu makanan dapat dikatakan bersifat hegemoni manakala terdapat kelas yang sedang berkuasa (dalam hal ini sangat dikenal dan diminati banyak orang; meskipun tidak harus menempati diri sebagai pemimpin) melakukan otoritas sosial terhadap kelas-kelas di bawahnya melalui kombinasi kekuasaan, terlebih dengan adanya persetujuan.[3]

Kedudukan negara-negara, seperti Korea Selatan, Jepang, Cina, dan Eropa yang memiliki andil luar biasa dalam menyebarkan budaya mereka agar disetujui oleh negara penerima budaya. Negara dengan budaya yang tidak sekuat mereka akan mudah terkikis dan tergantikan oleh budaya asing. Hal tersebut tentu saja menjadi mimpi buruk bagi suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan penerimaan budaya asing yang luar biasa besar menjadi ketakutan tersendiri terhadap budaya lokal yang ada. Makanan khas daerah yang menjadi identitas suatu bangsa di Nusantara bukan tidak mungkin akan terkikis dan terlupakan sejalan dengan makanan asing yang diterima mentah-mentah oleh generasi milenial. Coba saja melihat realitas yang ada, bahwa minimnya pengetahuan tentang makanan khas daerah oleh generasi saat ini tampak sekali nyatanya. Apakah mereka mengetahui kue putu ketimbang kue beras dari Korea Selatan? Taukah mereka akan Gula Puan, Wajik, atau Gerontol? Itulah sebab negara sangat perlu mempromosikan makanan khas mereka. Setidaknya, pemerintah dan generai bangsa tau makanan khas daerah masing-masing, membuat, dan melestarikan makanan tersebut.

Peran masyarakat Indonesia dengan dukungan pemerintah dan fasilitas negara sangat perlu untuk memasarkan makanan khas agar makanan tersebut tetap berjaya, dapat dinikmati oleh anak cucu, tidak punah, dan tidak diklaim oleh negara lain. Suatu budaya dan ciri khas daerah, seperti makanan khas sangat rentan untuk hilang dan terklaim. Nanti, kalau sudah terklaim, marah-marah. Padahal negara sendiri yang tidak kompeten dalam mempromosikan makanan khas. Selain itu, makanan yang identik dengan seseorang atau kelompok, jika punah akan melunturkan kekuatan kelompok tersebut. Makanan khas Nusantara sebagai identitas suatu bangsa memiliki cita rasa yang tidak kalah dengan makanan asing. Oleh karena itu, negara bukan merasa perlu mempromosikan makanan tertentu, tetapi harus agar makanan dengan cita rasa Nusantara tetap bertahan dan tidak diklaim oleh bangsa lain sebagai makanan tradisional.



[1] Protschky, Susie. (2008). The Colonial Table: Food, Culture and Dutch Identity in Colonial Indonesia, 54 (3), 351.

[3] Lusiana, Yusida. (2018). Japanese Hegemoni. Proceeding International Conference of Japanese Language Education (ICoJLE), 43.


Oleh:
Areta Shabiha R

Komentar

Postingan Populer